SENGKETA BATAS WILAYAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH ( STUDI TERHADAP BATAS WILAYAH KABUPATEN SINTANG DAN KABUPATEN SEKADAU )
SENGKETA BATAS WILAYAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH
( STUDI TERHADAP BATAS WILAYAH KABUPATEN SINTANG DAN
KABUPATEN SEKADAU )
FERDINAN
PAULUS ANYAB ( 17074000059 )
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
KONSENTRASI HUKUM TATA NEGARA
Email : f75paul@gmail.com
Abstract
One of the increasing issue in the
era of regional autonomy is the regional extension both at the provincial level
and at district/city level. However, such situation in some cases has emerged
some new problems, such as: social conflict, conflict on natural resources and territorial
disputes. This study examines the problems; first, how is the pattern of the
settlement of territorial dispute provided in the Indonesian legal system ?
Second, what factors are causing the dispute on the territorial in the
extension of new autonomous region in Sintang district and Sekadau district ?
This is a juridical-empirical research. The results of the study concluded
that: First, the pattern of dispute resolution of territorial boundaries is
generally through two channels, namely: non-legal dispute resolution of
territorial disputes, and legal settlement. Non-law is mediated by the Ministry
of Home Affairs and the Governor. While legal dispute resolution is pursued
through litigation. The occurrence of territorial disputes was triggered by the
process of regional expansion which did not require regional boundaries as a
legal requirement for regional expansion. The requirements fulfilled are more
technical, physical and political in nature. In territorial disputes over
district governments, the role of the provincial government is only as a
facilitator in accordance with the level of dispute cases.
Keywords: Regional
boundaries, territorial disputes, regional autonomy, government
Abstrak
Salah satu isu yang marak terjadi di
era otonomi daerah adalah pemekaran wilayah baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Namun, situasi tersebut dalam beberapa kasus menimbulkan
berbagai persoalan baru, seperti: konflik sosial, konflik sumber daya alam dan
Sengketa batas wilayah. Penelitian ini mengkaji permasalahan, pertama,
Bagaimana penyelesaian sengketa batas wilayah yang tersedia dalam sistem hukum
Indonesia ? Kedua, Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa batas
wilayah dalam pemekaran Daerah Otonomi Di Kabupaten Sintang dan Kabupaten
Sekadau ? Tipe penelitian yang dilakukan adalah yuridis-empiris. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa: Pertama, pola penyelesaian sengketa batas wilayah umumnya
melalui dua jalur, yakni: penyelesaian sengketa batas wilayah secara non hukum,
dan penyelesaian secara hukum. Secara non hukum dimediasi oleh Kemendagri dan Gubernur.
Sementara penyelesaian sengketa secara hukum ditempuh melalui jalur litigasi. Terjadinya
sengketa batas wilayah dipicu oleh proses pemekaran daerah yang tidak
mensyaratkan batas daerah sebagai syarat hukum dalam pemekaran daerah.
Persyaratan yang dipenuhi lebih bersifat teknis, fisik dan politis. Dalam sengketa
batas wilayah pada pemerintah daerah kabupaten, peran pemerintah propinsi hanya
sebagai fasilitator sesuai jenjang sengketa kasusnya.
Kata-kata kunci: Batas daerah, sengketa batas wilayah,
otonomi daerah, pemerintah
Pendahuluan
Otonomi Daerah telah menjadi isu yang
tidak ada henti-hentinya sejak Indonesia merdeka. Sebelum merdeka Indonesia
telah ada peraturan yang mengatur tentang pemerintahan di Daerah yaitu Inlandsche
Gemeente Ordonnantie (I.G.0) yang berlaku untuk Jawa dan Madura kecuali Daerah-Daerah
Swapraja Surakarta dan Yogyakarta, dan inlandsche Gemeente Ordonantie
Buitengewesten (I.G.O.B) yang berlaku untuk Daerah-Daerah di luar Jawa dan
Madura.
Untuk peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemerintahan Daerah setelah Indonesia merdeka sudah banyak
yang diundangkan akan tetapi banyak yang relatif singkat pemberlakuannya. Beberapa
Undang-Undang yang pernah berlaku menggambarkan betapa dinamisnya perumusan
kebijakan pemerintahan Daerah atau desentralisasi di Indonesia. [1]Otonomi
Daerah setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang diharapkan sebagai
implementasi prinsip-prinsip demokrasi dan lebih dari itu sebagai implementasi
kedaulatan rakyat, namun justru empiriknya nampak dengan jelas bahwa hubungan Pemerintahan
Pusat dengan Pemerintahan Daerah mengarah kepada sentralistik.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan
bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan Daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi Daerah dan tugas
pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum nasional memberikan kewenangan
atributif kepada Daerah untuk menetapkan Perda dan peraturan Daerah lainnya,
dan Perda diharapkan dapat mendukung secara sinergis program-program Pemerintah
di Daerah.
Secara prinsip tujuan utama otonomi Daerah
adalah mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya,
sehingga pelayanan kepada masyarakat lebih efisien dan pengawasan masyarakat
kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata, sedangkan substansi pelaksanaan
otonomi Daerah adalah upaya pemberdayaan masyarakat seperti menumbuh-kembangkan
prakarsa dan kreativitas dan peningkatan peran serta masyarakat secara aktif di
segala bidang dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sistem sentralisme kekuasaan yang
selama ini berkembang pada masa orde baru mulai menghilang. Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Gerakan reformasi membawa perubahan
semangat otonomi Daerah, sehingga Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mendapat
sambutan baik oleh masyarakat di Daerah. Pelaksanaan otonomi Daerah dirasakan
betul oleh Daerah dibanding dengan sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, hal ini dapat dibuktikan bahwa banyak urusan pusat yang telah
diserahkan kepada Daerah sehingga Daerah dapat leluasa untuk mengelola sumber
daya Daerah secara maksimal. Dalam perjalanannya Undang-Undang ini banyak
kelemahan terbukti bahwa banyak konflik horizontal' yang timbul baik
pengelolaan sumber daya alam sampai pada sengketa batas wilayah baik antar
Kabupaten / kota maupun antar provinsi.
Perkembangan selanjutnya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah diharapkan oleh banyak kalangan dapat menjawab sengketa
batas wilayah yang belum mampu terjawab oleh Undang-undang sebelumnya.
Pembentukan atau pemekaran Daerah
dirasakan sebagai suatu kebutuhan untuk mewujudkan upaya peningkatan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan serta untuk lebih mempercepat terwujudnya pemerataan
kesejahteraan masyarakat. Disamping itu untuk mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat dan penciptaan rentang kendali pengawasan lebih efektif. Dasar
pemikiran di atas sebagai awal lahirya gagasan untuk melakukan pemekaran
wilayah Kabupaten ataupun Kota di Daerah-Daerah. [2]Pembentukan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, memberi peluang bagi Daerah untuk membentuk atau
memekarkan Daerah sehingga lahirlah Daerah-Daerah pemekaran baru yang sarat
dengan persoalan-persoalan baru mulai dan masalah budaya, ekonomi, politik,
agama dan bahkan sengketa batas wilayah.
Daerah-Daerah yang baru dibentuk atau
dimekarkan sering kali menimbulkan sengketa batas wilayah dengan berbagai argumen dan alasan sehingga cenderung memperkeruh sengketa. Hal
ini dapat dibuktikan bahwa dalam pembentukan Daerah Otonom baru yang disertai sengketa
batas wilayah, seperti contoh kasus: sengketa batas antara Desa Sunsong,
Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau dengan Desa Sinar Pekayau, Kecamatan
Sepauk, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Sebelum Kabupaten Sekadau
dimekarkan, secara administratif Desa Sunsong masuk Kabupaten Sanggau. Setelah
Sekadau dimekarkan masuk wilayah Kabupaten Sekadau. Tetapi oleh Pemerintah
Kabupaten Sintang, ada juga pemekaran dari Desa Sinar Pekayau menjadi Desa
Bungkong Baru. Bagian Desa Sunsong diklaim masuk wilayah Kabupaten Sintang. Jika
melihat dari Kabupaten Sekadau, maka disebut Dusun Bungkong Desa Sunsong
Kecamatan Sekadau Hulu. Tapi dilihat dari wilayah Kabupaten Sintang, disebut
Dusun Sunsong Desa Bungkong Baru Kecamatan Sepauk.
Pemekaran atau pembentukan Daerah
otonom baru tenyata tidak serta-merta dapat menciptakan keadaan lebih baik
akan tetapi bagi sebagian Daerah masih
banyak meninggalkan sengketa yang berlarut-larut dan bahkan hingga saat ini
belum banyak sengketa batas wilayah dapat diselesaikan. Perbatasan merupakan
manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu Daerah. Perbatasan suatu Daerah
mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah administrasi,
pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan
perbatasan Daerah dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik,
hukum dan budaya. Dalam konstitusi pembentukan suatu Daerah sering dicantumkan
pula penentuan batas wilayah.
Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada judul penelitian
yaitu " SENGKETA BATAS WILAYAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN
DAERAH ( STUDI TERHADAP BATAS WILAYAH KABUPATEN SINTANG DAN KABUPATEN SEKADAU ).
Rumusan masalah yang akan diteliti adalah:
1.
Bagaimana penyelesaian sengketa batas wilayah yang tersedia
dalam sistem hukum Indonesia ?
2.
Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa batas wilayah
dalam pemekaran Daerah Otonomi Di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau ?
Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis cara penyelesaian
sengketa batas wilayah menurut sistem hukum Indonesia.
2. Untuk menganalisis faktor yang
menyebabkan sengketa batas wilayah pada Daerah yang telah mengalami pemekaran
wilayah.
Manfaat Penelitian.
Manfaat atau keuntungan yang didapatkan
dari penelitian ini sebagai berikut :
1.
Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan pemikiran bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan
sengketa batas wilayah terutama pada Daerah yang mengalami pemekaran.
2.
Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membantu
melengkapi pemetaan dari faktor-faktor yang mempengaruhi sengketa batas wilayah
dari Daerah yang mengalami pemekaran.
Metode
Penelitian
Tipe
penelitian yang dilakukan ini adalah yuridis-empiris, yaitu mengkaji permasalahan
hukum dalam dimensi praktisnya dalam hubungan antar daerah otonom (lama
dan baru), khususnya menyangkut masalah perbatasan daerah, dan dilengkapi
dengan kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah; 3. Peraturan
Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Tata Persyaratan Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah; 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah; 5. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006 tentang Penetapan dan Penegasan Batas
Desa; serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman dan
Penegasan Batas Daerah.
Pendekatan Penelitian
Permasalahan
pokok yang ada pada penelitian ini adalah SENGKETA BATAS WILAYAH DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN DAERAH ( STUDI TERHADAP BATAS WILAYAH KABUPATEN SINTANG DAN
KABUPATEN SEKADAU ). Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni
yuridis-empiris, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual
approach), dan pendekatan kasus (case approach). Data yang
terkumpul, baik dari lapangan maupun data sekunder yang diperoleh dalam
penelitian studi pustaka, aturan perundang-undangan, dan artikel ilmiah
diuraikan dan dihubungkan secara sistematis guna menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan. Selanjutnya dilakukan dianalisis secara deskriptif-kualitatif
untuk menghasilkan suatu kesimpulan dan rekomendasi penelitian.
Pembahasan
Penyelesaian
Sengketa Batas Wilayah Melalui Upaya Administrasi Berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan jika wilayah negara itu dibagi lagi
menjadi daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya berdasarkan Undang Undang. Amanat konstitusi ini adalah dasar
hukum pembentukan pemerintahan daerah dengan segenap fungsi dan kewenangannya
termasuk dalam persoalan pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerah
tersebut.
Penyelesaian upaya administratif adalah
penyelesaian yang dilakukan didalam lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam hal
yang terjadinya sengketa perbatasan antar daerah otonomi didalam satu provinsi
diselesaikan oleh Gubernur. Namun dalam praktek Gubernur tidak memiliki
kewenangan untuk menentukan status daerah yang disengketakan karena kewenangan
tersebut berada ditangan pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan
posisi Gubernur hanyalah sebagai fasilitator untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi antara daerah otonomi.
Adapun dasar hukum dalam menyelesaikan
perselisihan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dan juga termasuk
sengketa perbatasan daerah ada pada Pasal 370 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah yakni: (1) Dalam hal terjadi perselisihan dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota dalam satu
Daerah provinsi, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyelesaikan
perselisihan dimaksud. (2) Dalam hal terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan antar-Daerah provinsi, antara Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak dapat menyelesaikan
perselisihan sebagaimana di maksud pada ayat (1), penanganannya dilakukan oleh
Menteri. (4) Keputusan Menteri berkaitan dengan penyelesaian perselisihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penanganan penyelesaian perselisihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final. (5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyelesaian perselisihan antar-Daerah dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan diatur dengan Peraturan Menteri. Lebih spesifik
penyelesaian sengketa perbatasan daerah diatur didalam ketentuan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah
Pasal 25 yakni: (1) Dalam hal terjadi perselisihan dalam penegasan batas daerah
dilakukan penyelesaian perselisihan batas daerah. (2) Penyelesaian perselisihan
batas daerah antar kabupaten/kota dalam satu provinsi dilakukan oleh gubernur. (3)
Penyelesaian perselisihan batas daerah antar provinsi, antara provinsi dengan
kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar
wilayahnya, dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.[3]
Dengan dua regulasi diatas yakni Pasal 370 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah juncto Pasal 25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
76 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, yang dijadikan rujukan
penyelesaian sengketa perbatasan antar daerah yang ada di Indonesia. Sesuai
dengan amanat dari Pasal 25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012
Terlihat telas bahwa penyelesaian perselisihan dalam penegasan batas antara
kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang yang dimulai terlebih dahulu dari
jenjang Pemerintah dibawah yakni Gubernur. Berdasarkan Pasal 26 sampai 32
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 dapat diringkaskan
langkah-langkah penyelesaian perselisihan sengketa batas antar daerah dengan
tahapan Gubernur memfasilitasi penyelesaian sengketa perbatasan dengan
mengundang rapat Bupati/Walikota yang daerahnya bersengketa, Gubernur diberi
kesempatan untuk melakukan rapat sebanyak tiga kali dengan Bupati/Walikota.
Setelah batas tiga kali rapat dilaksanakan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 28
ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomot 76 Tahun 2012 Gubernur memutuskan
perselisihan batas daerah, dan apabila Gubernur tidak mengabil keputusan,
Gubernur menyerahkan proses selanjutnya kepada Menteri Dalam Negeri. Dalam hal
ini Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan formal dalam bentuk Peraturan
Menteri Dalam Negeri ( Permendagri ) tentang penegasan batas daerah yang
bersifat final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan
terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Tersebut.[4]
Namun meskipun telah ditegaskan
bersifat final tidak menutup kemungkinan untuk dapat diselesaikan melalui jalur
litigasi oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan cara Judicial
Review dikarenakan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut bukanlah putusan
dari lembaga Yudikatif sehingga sifat final hanya pada proses Administratif
belaka dan dimungkinkan untuk menempuh upaya hukum yang lain bagi para pihak
yang merasa dirugikan akibat keputusan tersebut.
Kecenderungan
Menyelesaikan Sengketa Batas Wilayah Melalui Jalur Litigasi
Munculnya
celah untuk melakukan penyelesaian sengketa batas daerah ke Mahkamah Konstitusi
melalui pintu Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini dikarenakan bentuk legal formal
pembentukan suatu daerah otonom didasari pada ketentuan Undang-Undang yang
salah materi muatannya mengatur tentang batas-batas daerah otonom yang terkait
dengan batas-batas daerah dengan daerah yang berdampingan dan penormaannya
terlalu umum. Padahal potensi sengketa bisa saja terjadi sampai tingkat desa.
Namun dalam beberapa undang-undang terbaru tentang pembentukan daerah otonom
sudah mengatur lebih rinci tentang batas daerah sampai tingkat desa seperti
pada undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2012 tentang pembentukan
Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa barat, Undang-Undang Republik Indonesai
Nomor 22 Tahun 2012 tentang pembentukan kabupaten pesisir barat di provinsi
Lampung, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Kabupaten Manokwari Selatan di provinsi Papua Barat, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pembentukan Kabupaten Pegunungan
Arfak di Provinsi Papua Barat.
Berdasarkan
uraian diatas menurut penulis berpendapat meskipun telah diatur mekanisme
penyelesaian sengketa perbatasan daerah melalui Ketentuan Pasal 25 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tantang Pedoman Penegasan Batas Daerah
Juncto Pasal 370 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
yang mekanisme penyelesaian sengketa perbatasan melalui pendekatan
administratif ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahan sengketa
perbatasan tersebut, sehingga menurut penulis menyelesaikan sengketa perbatasan
daerah melalui jalur litigasi bisa dijadikan opsi utama untuk mendapatkan
kepastian hukum.[5]
Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Batas Wilayah Di
Kabupaten Sintang Dan Kabupaten Sekadau.
Sengketa
batas antara Desa Sunsong, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau dengan
Desa Sinar Pekayau, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan
Barat. Sebelum Kabupaten Sekadau dimekarkan, secara administratif Desa Sunsong
masuk Kabupaten Sanggau. Setelah Sekadau dimekarkan masuk wilayah Kabupaten
Sekadau. Tetapi oleh Pemerintah Kabupaten Sintang, ada juga pemekaran dari Desa
Sinar Pekayau menjadi Desa Bungkong Baru. Bagian Desa Sunsong diklaim masuk
wilayah Kabupaten Sintang. Jika melihat dari Kabupaten Sekadau, maka disebut
Dusun Bungkong Desa Sunsong Kecamatan Sekadau Hulu. Tapi dilihat dari wilayah Kabupaten
Sintang, disebut Dusun Sunsong Desa Bungkong Baru Kecamatan Sepauk.
Batas
wilayah memang menjadi salah satu masalah yang penyelesaiannya berlarut-larut.
Terlepas dari semua itu beberapa hal yang menjadi pokok persoalan sengketa
batas wilayah Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau diantaranya adalah:
1.
Kaburnya garis perbatasan akibat rusaknya patok-patok di
perbatasan antara kedua daerah diperbatasan.
2.
Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antar
daerah sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik
untuk pengembangan daerah dan masyarakat.
3.
Kepastian hukum bagi suatu daerah dalam operasionalisasi
pembangunan di wilayah perbatasan belum ada.
4.
Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan menjadi pemicu
tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi bagian dari daerah tetangga
yang lebih dapat memperbaiki perekonomian masyarakat mengingat tingkat
perekonomian di daerah tetangga lebih menjanjikan.
5.
Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah
daerah yang saling bertetangga pemicu orientasi perekonomian masyarakat.[6]
Penutup
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut : Pertama, Dalam
penyelesaian sengketa batas wilayah negara sebenarnya telah menyiapkan
perangkat aturan hukum seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun
2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah untuk menyelesaikan sengketa perbatasan daerah
melalui Penyelesaian Administratif oleh Gubenur dan Menteri Dalam Negeri yang
bersifat Final, namun dalam prakteknya Permendagri sebagai hasil dari
penyelesaian sengketa melalui upaya administrative tidak menyelesaikan
permasalahan meskipun bersifat final, bahkan pihak-pihak yang merasa dirugikan
atas keluarnya keputusan tersebut bisa melakukan judicial review ke Mahkamah
Agung terhadap Permendagri tersebut dan bahkan dapat di uji juga Undang-Undang
Pembentukan daerah tersebut ke Mahkamah Konstitusi sebagai landasan adanya
kerugian konstitusional pemohon. Kedua, Penyebab sengketa batas wilayah antara Kabupaten Sintang dan
Kabupaten Sekadau adalah dalam membentuk suatu pemerintahannya sendiri menjadi
daerah otonomi Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau banyak tantangan, salah
satunya yaitu sengketa batas wilayah yang terjadi di Desa Sunsong. Sengketa
yang terjadi akibat adanya pengakuan Desa Sunsong oleh masing-masing kabupaten
( Sintang Dan Sekadau ).
Berdasarkan
kesimpulan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:
Pertama, Mengingat pentingnya batas wilayah suatu daerah sebagai simbol
kewenangan atas daerah tersebut maka perlu dibentuk aturan hukum yang mengatur
mekanisme penyelesaian sengketa perbatasan daerah yang lebih memiliki kepastian
hukum. Kedua, Jika terjadi sengketa batas wilayah maka tugas yang
pertama yaitu penyelesaian sengketa batas wilayah dilakukan terlebih dahulu
oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau dengan melakukan
mediasi agar sengketa batas wilayah tidak berlarut-larut. Jika memang kedua
daerah yang melakukan perundingan tidak ada hasilnya maka diserahkan kepada
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam hal ini Gubernur dan setelah
menerima kasus ini maka Pemerintah Provinsi diharapkan tepat dan cepat dalam
menyelesaikan masalah sengketa batas wilayah ini karena masalah sengketa batas
wilayah merupakan rentan konflik.
Daftar
Pustaka
Buku
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan
Otonomi Luas dengan Pemilihan
Kepala Daerah Secara Langsung, RajaGrafindo
Persada,Jakarta, 2007.
Asshiddiqie,
Jimly. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia
(Pasca Reformasi), Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Barat, 2007.
Amiruddin dan
Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian
Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Alrasid,
Harun. Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UIP.
Alisyabana, Sutan Takdir.
Indonesia: Social and Cultural
Revolution.Terjemahan Benedict R. Anderson, Kuala
Lumpur Oxford University Press.
Ateng,
Syafruddin. Pasang Surut Otonomi Daerah, Binacipta,
Jakarta,1985.
Budiardjo, Meriam. Dasar-dasar
Ilmu Politik, Gramedia
Jakarta,2001.
B.C Smith.
Decentralization The Teritorial Dimension of the
state,Geoge Allen & Unwin
(publisher) Ltd. North Sydney, Autralia,1985.
Dahl, Robert, A. Democracy and Its
Critics, Yale University,
London,1989.
Diantha, I Made Pasek. Tiga Tipe
Pokok Sistem Pemerintahan
Dalam
Demokrasi, Abardin, Bandung, 1990.
Espe, Kusuma. Provokator
(Paradigma Kritis di Tengah Konflik),
Penerbit Awan
Indah, Jakarta, 2004.
Gaffar, Afan. Javanese Voters A
Case Study of Election Under
Hegemonic
Party Sistem, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta,
1992.
Gie, The Liang. Pertumbuhan
Pemerintah Daerah di Negara
Republik
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993.
Haris,
Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi daerah, LIPI
Pres,Jakarta, 2006.
---------------,
dkk. Membangun Format Baru Otonomi Daerah,
LIPI Pres,Jakarta, 2006.
Huda,
Nikmatul. Otonomi Daerah (Filosofi Sejarah
Perkembangan dan Problematika),
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Ihromi, T.O.
Pokok-pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1999.
Irawan,
Soejito. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
daerah,Rineka Cipta, Jakarta,
1990.
Kaloh,
Mencari Bentuk Otonomi Daerah(Suatu Solusi dalam
Menjawab Kebutuhan Lokal dan
Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.
Kusnardi,
Moh, dkk. Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta,
2000.
Kansil, CST.
Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia
Indonesia,Jakarta, 1989,
Koesoemahatmadja.
Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan
Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1979.
Lubis, M.
Solly Hukum Tata Negara, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2002.
Mahfud, MD.
Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media,
Yogyakarta, 1999.
-------------,
Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, 2001.
Syamsuddin Haris, ed, Desentralisasi
dan Otonomi Daerah, LIPI
Pres,
Jakarta, 2006.
Sidik Pramono dan Susie Berindra,
“Pemekaran Tak Lagi Jadi
“Obat” Mujarab”, Kompas Edisi Rabu 30 Agustus 2006 (Politik
& Hukum), Jakarta
Sri Sumantri dan Bintan R Saragih,
Ketatanegaraan Indonesia dalam
Kehidupan Politik Indonesia (30 tahun kembali ke undang
undang dasar 1945), Jakarta Pustaka Sinar Harapan. 1993.
Yosep
Riwukaho, Otonomi yang Titik Beratnya di Letakkan Pada
Daerah TK II, UGM Yogyakarta, 1980.
Soerjono Soekanto, Sosiologi, suatu
pengantar, RajaGrfindo
Persada,
Jakarta. 2003.
Eddy MT Sianturi, dan Nafsiah, SP.
"Strategi Pengembangan
Perbatasan Wilayah Kedaulaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia". e-mail:
buletinlitbang(cl/dephan.go.id 2006
Hari Sabarno, "Kebijakan/Strategi
Penataan Batas dan
Pengembangan
Wilayah Perbatasan"
Indra, Mexsasai, “Konsep Penyelesaian
Sengketa Perbatasan Antar
Daerah Dikaitkan Dengan Pemekaran Daerah Di Indonesia”,
Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung: 2013
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4438)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82, Tabahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332 )
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5889 )
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang,
Sinar
Grafika, Jakarta, 2007.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76
Tahun 2012 Tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 1252 )
Jurnal
Harmantyo Djoko, “Pemekaran Daerah dan
Konflik Keruangan:
Kebijakan
Otonomi Daerah dan Implementasinya di
Indonesia”, MAKARA,
SAINS, VOL.
11, No. 1, APRIL 2007.
Irvan, Z., Wewenang Gubernur Dalam
Menerbitkan Surat Keputusan
Nomor 188/113/Kpts/013/2012 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Batas Daerah Antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri (Studi
di Provinsi Jawa Timur). Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 1(2), Universitas
Brawijaya, Malang, 2013
Kementerian Dalam Negeri Direktorat
Jenderal Pemerintahan
Umum, Bahan
Batas Daerah, Tidak dipublikasikan.
Mahfud MD., Moh., Konstitusi dan Hukum
dalam Kontroversi Isu,
Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian
Hukum, Prenada Media,
Jakarta,
2005.
Prescott, V. dan Triggs, G.D.
International Frontiers and
Boundaries: Law, Politics and Geography, Martinus Nijhoff
Publishers, 2008.
Ucu
Martanto, Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa,
CRCS UGM,
2012,Yogyakarta.
[1] http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/422-harmonisasi-peraturan-daerah-dengan-peraturan-perundang-undangan-lainnya.html
[2] http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/3000-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-dari-masa-ke-masa.html
[3]Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Pasal
370
[4] Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah Pasal
25
[5] Mexsasai Indra, Op.Cit. Hal 264
[6] Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: PT
Suryandaru Utama, 2005), hal. 30
Komentar
Posting Komentar